Bolehkah Memviralkan Orang yang Berutang di Media Sosial?
oleh: M syaiful H,S.H
PERTANYAAN
Adakah hukum memviralkan orang yang berutang di media sosial? Bisakah saya dipidana jika memviralkan utang orang lain lewat media sosial?
Sesuatu yang viral dapat bersifat positif maupun negatif. Dalam hal positif misalnya, ada kejadian kecelakaan lalu lintas yang diviralkan, sehingga petugas keselamatan dan lalu lintas segera datang untuk memberikan pertolongan. Sebaliknya, dalam hal yang negatif, misalnya seperti kasus yang Anda tanyakan, yaitu ketika seseorang berutang di-posting lalu unggahan tersebut menyebar luas dengan cepat dan menyebabkan orang yang berutang menjadi malu dan tercemar namanya.
Dalam hal ini, ketika yang diviralkan membuat nama seseorang tercemar dan yang bersangkutan tidak menerimanya karena sangat malu, apakah perbuatan tersebut dapat dijerat secara hukum?
Perlu diketahui, perbuatan memviralkan seseorang dengan unggahan bercitra buruk yang mengakibatkan nama seseorang tercemar dapat dijerat pasal pencemaran nama baik dan/atau penghinaan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku ataupun Pasal 433 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026 sebagai berikut.
Pasal 310 KUHP
Pasal 433 UU 1/2023
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan,[2] yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[3]
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[4]
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[5]
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[6]
Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.
Selanjutnya, aturan pencemaran nama baik terutama yang dilakukan melalui media internet atau media sosial diatur dalam Pasal 27A j.o Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 berikut.
Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik diancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.
Lantas, apakah memviralkan utang seseorang di sosial media dapat dijerat pasal tersebut?
Sepanjang penelusuran kami, yang dimaksud dengan menyerang kehormatan atau nama baik adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.Oleh karena itu, menurut hemat kami, perbuatan memviralkan orang yang berutang di media sosial tidak dapat dijerat Pasal 27A j.o Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024, mengingat muatan yang disebarkan tersebut merupakan sebuah kenyataan.
Namun, apabila dalam memviralkan orang yang berutang tersebut mengandung kata-kata berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, maka kami berpendapat pelaku dapat dijerat Pasal 315 KUHP atau Pasal 436 UU 1/2023 atas penghinaan ringan.
Terkait masalah yang Anda tanyakan, memviralkan suatu utang biasanya bertujuan mempermalukan si pemilik utang. Dalam hal ini, sekalipun ada perjanjian dan persetujuan untuk memviralkan utang lewat SMS, WA, dan berbagai media lain.
Perlu diketahui syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu pokok persoalan tertentu;
suatu sebab yang tidak terlarang.
Sebagai catatan, suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan suatu sebab terlarang, yakni dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, tidak mempunyai kekuatan.[8]
Terkait hal ini, Subekti dalam Hukum Perjanjian (hal. 17) menggolongkan “sebab yang halal” sebagai syarat objektif. Syarat ini berkaitan dengan objek perbuatan hukum yang dilakukan. Sehingga, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, yang dapat diartikan bahwa dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.[9]
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, pencemaran nama baik merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan Pasal 1320, Pasal 1335, dan Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian memviralkan utang dapat dikatakan tidak memenuhi syarat sah perjanjian yaitu sebab yang halal. Sehingga, perjanjian tersebut batal demi hukum.
Menurut hemat kami, langkah memviralkan orang yang berutang di media sosial sebaiknya tidak dilakukan, mengingat pelaku berpotensi dipidana atas aduan dari orang yang berutang yang merasa nama baiknya tercemar. Karena utang merupakan kewajiban yang harus dibayar, sebaiknya upayakan semaksimal mungkin agar pengutang membayar utangnya baik dengan mencicil atau memberikan jaminan guna memastikan pembayaran utang.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023.
Referensi:
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2014.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada Selasa, 13 September 2022, pukul 14.20 WIB.
Bisakah Pelaku Bullying Dipidana Jika Korban Bunuh Diri?
oleh: M Syaiful H, S.H
Sebelumnya.
Kasus bunuh diri akibat bullying semakin sering terjadi. Contohnya, seorang mahasiswi di Semarang mengakhiri hidupnya setelah diduga mengalami perundungan. Kasus serupa juga terjadi di Jatinangor, Banyuwangi, dan Salatiga, melibatkan korban dari kalangan mahasiswa hingga siswa SD. Sebagian besar korban mengalami bullying verbal, yang sering menjadi pemicu tindakan bunuh diri.
Pertanyaan yang muncul adalah, dapatkah pelaku bullying dipidana jika tindakan mereka berkontribusi pada bunuh diri korban.
Pengertian Bullying
Bullying atau perundungan merupakan tindakan menyakiti atau menakut-nakuti seseorang yang lebih lemah, baik secara fisik maupun psikologis, termasuk memaksa mereka melakukan sesuatu di luar kehendak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, bullying termasuk bentuk kekerasan yang menyebabkan penderitaan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran.
Bullying dapat dibagi menjadi lima kategori utama:
1. Fisik: Memukul, menendang, atau merusak barang milik korban.
2. Verbal: Mengancam, mengejek, atau menyebarkan gosip.
3. Non-verbal langsung: Ekspresi wajah merendahkan atau mengancam.
4. Non-verbal tidak langsung: Mengucilkan atau memanipulasi hubungan sosial.
5. Pelecehan seksual: Berupa tindakan fisik atau verbal yang bersifat seksual.
Jerat Pidana untuk Pelaku Bullying
Hukum Indonesia memiliki sejumlah pasal yang dapat menjerat pelaku bullying, baik di lingkungan sekolah maupun kampus. Untuk orang dewasa, pelaku dapat dijerat pasal seperti:
KUHP Lama: Pasal 351 (penganiayaan), Pasal 310 (pencemaran nama baik), atau Pasal 336 (pengancaman pembunuhan).
UU 1/2023 tentang KUHP Baru: Pasal 466 (penganiayaan berat), Pasal 433 (fitnah), atau Pasal 462 (mendorong orang lain bunuh diri).
Jika korban merupakan anak di bawah umur, Pasal 76C UU 35/2014 melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak. Pelaku yang melanggar dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 80 UU 35/2014:
Luka ringan: Penjara maksimal 3 tahun 6 bulan atau denda hingga Rp72 juta.
Luka berat: Penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp100 juta.
Korban meninggal dunia: Penjara maksimal 15 tahun atau denda hingga Rp3 miliar.
Jika pelaku merupakan anak, pendekatan restorative justice diterapkan, mengutamakan pemulihan daripada pembalasan. Hukuman untuk anak juga dibatasi hingga setengah dari ancaman maksimal bagi orang dewasa.
Jika Korban Bunuh Diri
Apabila tindakan pelaku mengandung hasutan atau dorongan untuk bunuh diri, pelaku dapat dijerat Pasal 345 KUHP atau Pasal 462 UU 1/2023. Kedua pasal ini mengatur bahwa mendorong, membantu, atau menyediakan sarana bagi seseorang untuk bunuh diri dapat dihukum hingga 4 tahun penjara. Namun, kesengajaan pelaku harus dapat dibuktikan.
Pelaku bullying yang menyebabkan korban bunuh diri dapat dipidana, terutama jika tindakan pelaku memenuhi unsur dalam pasal-pasal hukum pidana yang berlaku. Penting untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pelaku dan bunuh diri korban. Jika pelaku adalah anak, proses hukum tetap memperhatikan prinsip keadilan restoratif.
Penanganan kasus semacam ini memerlukan pendekatan hukum yang cermat untuk melindungi korban dan mencegah terjadinya perundungan di masa depan.